… … …
Apa artinya dunia yang bisa kugenggam
Bila tak ada cinta darimu untukku
Aku bukanlah siapa siapa
Bila tak ada cinta darimu untukku
Aku bisa melayang terbang di atas awan-awan
Aku bisa selami palung terdalam di dunia
Tapi apa artinya bila kau tak cinta
… … …
–Lirik lagu “Aku Bukan Siapa Siapa” | The Rock, Dhani Ahmad
Aina, bait tadi satu dari sekian nyanyian cinta yang kusuka. Kusuka ia karena terkait keadaanku bila mengingatmu, yang bila kudengar maka cakrawala zaman sanubari terbuka begitu saja. Kutahu kau tidak punya waktu untuk berlama-lama membaca surat ini karena hari-harimu kini di antara helaian aneka warna dan lipatan yang menyita rasa. Tidak seperti hari lampau, suratku untukmu ini telah lebih dulu dibaca orang lain. Aku tidak tahu perasaanmu saat membaca ini karena aku tidak bisa duga perasaan seorang perempuan yang membaca surat cinta, aku tidak dilatih untuknya. Lebih lagi, dari ruang menulisku, aku tidak bisa melihat rona wajahmu di ruang berlampu jingga tengah malam.
Jika kautanya kenapa kutulis surat untukmu dan lebih dulu dibaca banyak orang, maka kujawab, telah banyak kutulis surat untukmu tapi tidak berguna untuk sebuah percintaan, karena aku tidak tahu apakah kauserius membacanya kala itu. Surat ini sebuah kelengkapan dari seuntai rasa yang tercabik tapi disatukan oleh waktu, tepatnya kuingin begitu walau bagai mengharap senja di pantai Lhoknga dan Ujong Blang berubah warna dari jingga jadi ungu lalu biru siang. “Enggak mungkin!” teriak ikan kecil yang berenang di air bening asin di pantai Ujong Blang yang kini abrasi. “Ah, masak seeeh!” balas ranting cemara di pantai Lhoknga yang disapu semilir Samudra Hindia.
Inilah surat cinta yang mahal walau tak semahal surat cinta Julius Caesar untuk Cleopatra. Mahal karena ini dibaca banyak orang dan terhitung sebagai karya sastra, walau tak sastra-sastrawi amat seeeh, karena aku bukan seorang sastrawan. Aku hanya seorang pencintamu. Surat cintaku untukmu yang terbesar dan paling mahal baru selesai kutulis, kau pun telah menerima dan membacanya. Sangking besar dan mahalnya, ia bahkan berbentuk sebuah buku yang berisi cerita humanisme yang tiada akhir, sama seperti tiada berakhirnya cintaku padamu.
Walau surat cinta itu tidak semahal Gunongan yang dipersembahkan Iskandar Muda untuk Kamalia abad ke-17 M, walau tak semahal puasara Taj Mahal yang dibangun di abad ke-17 M oleh Raja Shah Jahan untuk kuburan istrinya Mumtaz Mahal, namun surat cintaku padamu yang berbentuk buku itu tidak kubangun dengan penindasan seperti para raja tersebut. Aku membuat surat cinta untukmu dengan airmataku sendiri, tidak kukatakan dengan darah, tepatnya itu adalah serpihan luka yang telah direkam waktu, serpihan luka dari kepingan hatiku yang rentan di antara destinasi negeri dan penerimaanmu. Pun surat itu akan jadi warisan negeri, jadi tanda ini zaman.
Kauingat, kan? Telah berapa banyak kukirimkan salam untukmu, aku sebutnya sebagai salam dari pengirim tak beralamat karena angin malam tak bisa tahu alamat orang, tapi ia tahu alamatmu, karena kau begitu mudah dikenalnya. Angin malam mudah saja mencari seorang Aina yang pipinya sering memerah. Percintaan kita tidak punya cemara di pinggir pantai, apalagi pantai cinta. Tepatnya, hubungan kita tidak bisa disebut percintaan. Hanya aku saja yang menyebutnya karena aku suka kasih sebutan pada apa saja, misalnya kusebut kau sebagai gadis berambut pirang walau nyatanya rambutmu tidak sepirang yang kusebutkan pada orang-orang. Tapi begitulah aku yang lebih suka menceritakan tentangmu daripada ceritakan tentang diriku sendiri, karena bagiku cerita tentangmu lebih penting ketimbang cerita hidupku sendiri, makanya di profil surat cinta terbesar itu aku tak menulis banyak.
Seperti nyanyian cinta tadi, aku pun bisa yakinkan beberapa tokoh di negeri kita untuk lakukan sesuatu demi rakyat, tapi aku tak mampu yakinkan dirimu bahwa aku cinta padamu. Aku bisa taklukkan tokoh di balik beberapa peristiwa, tapi aku tak bisa taklukkan hati seorang perempuan, seorang gadis yang kupanggil Aina. Kenyataan ini ajariku bahwa kebanggaan secara berlebihan pada sesuatu tidak pantas disandang siapapun. Yang hebat dan penting menurut seseorang bahkan dianggap tak berguna bagi yang lain.
Aina, aku tidak mengerti bagaimana kaupahami surat cintaku kali ini, juga surat-surat sebelumnya. Telah lewati sepuluh tahun kucoba mengerti hatimu, namun belum bisa juga sementara kau memang tidak pernah mau mengertikannya. Jika surat-suratku yang silam berakhir dengan harapan kauterima cintaku, maka kini aku tidak berani lagi harapkannya.
Memang, aku tak mampu persembahkan istana kaca seperti Sulaiman untuk Balqis, pusara pualam seperti Taj Mahal dan keranda emas oleh Iskandar Muda untuk Kamalia karena aku bukan seorang raja. Memang tak mampu kubuat tempat bermainmu seperti Gunongan yang selalu dipuja lebih dari yang seharusnya itu. Aku hanya bisa menulis surat cinta untuk Aina, dan telah kutulis semua surat cinta yang aku bisa. Entah bagaimana kauartikan, aku tidak tahu karena angin malam dan kawanan elang di antara semilir pantai tidak kirimkan kabar balasan sepanjang musim lalu.
Aina, siapa saja bisa nyanyikan tentang cintanya yang tak pernah sampai. Kaupasti ingat kala badai dan riak tak lagi sekeras kemarin, mungkin yang kau dan aku cari sebuah ruang dalam kesunyian jiwa masing-masing. Kautahu kesunyian adalah seperti lipatan baju hijau yang kaujahit lalu kau tak tahu ia akan tutupi tubuh cantik siapa.
Hatiku kadang rentan bagai kain yang ditusuk jarum, tiada yang pastikan akan berbentuk apa setelah itu selain penjahitnya. Aina, mungkin tubuhmu terbungkus tasbih menuju mihrab yang kautunggu di antara cerita cinta yang terpenggal. Aina, hari-hari dalam hidupmu dan hidupku begitu cepat berpamit, malam pergi tanpa berpesan, dan fajar datang tanpa menjawab pertanyaan kita.
Aina, ingin kurengkuh tapi kau begitu jauh, ingin kudengar suaramu, namun ia disamarkan musim. Aina, telah kaubangun sekat dan hanya kau yang bisa meruntuhkannya untuk membebaskan hatimu dari penjara yang kaubangun sendiri. Pun untuk bebaskan hatiku dari sisa cerita luka yang belum pun sembuh. Ini hanyalah surat cintaku untukmu kala cinta itu kian tak kumengerti dan mungkin kauanggap sirna bersama berlalunya setiap senja merah.
Aina, bagiku tidak mudah dapatkan cinta sejati dan jatuh cinta lebih tidak mudah. Entah berapa musim dan tahun lagi harus kunanti, entah berapa surat lagi harus kutulis, entah berapa orang lagi harus mendengarkan pengaduan perasaanku padamu, hanya kau yang tahu, Aina.
Thayeb Loh Angen, penulis Novel TEUNTRA ATOM

Senin, 07 September 2009
Surat Cinta Untuk Aina ♥
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
wah siapa tuh aina, hehehhe